Saturday, May 20, 2006

“Aku mau lihat penis!” Si Kecil Bertanya Tentang Seks Dan Reproduksi (I)



Kenapa perempuan menstruasi? Dari mana Adik lahir? Kenapa ada di dalam perut Ibu? Anak cerdas selalu ingin tahu tentang diri dan dunia mereka. Bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan si Kecil?

Bonus Alia Februari 2006

Santi W.E. Soekanto




Daftar Isi

* Pengantar
* Mengapa Anak Bertanya dan Mengapa Orangtua Perlu Menjawab
* Kapan dan Bagaimana Menjawab Pertanyaan-pertanyaan Si Kecil
* Tips untuk Berbicara Tentang Seksualitas dan Reproduksi dengan si Kecil
* “Aku Mau Lihat Penis!” –Tiga Percakapan Nyata
* Penutup: Banyak Ditanya, Banyak Belajar

Pengantar

BismillaahirRahmaanirRahiim

Allah mengaruniai semua anak dengan dorongan alamiah untuk mengeksplorasi dunianya, dan memberi mereka alat belajar yang canggih dan berfungsi segera sesudah dia lahir. Pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan perasa yang mengirim ke otaknya berbagai informasi untuk diolah. Pada waktunya si Kecil juga akan belajar menggunakan lisannya untuk belajar, dan pada saat inilah dia akan banyak bertanya.

Kadang-kadang dia bertanya tentang berbagai hal dalam keseharian yang mungkin akan mudah Anda jawab, seperti “mengapa bajaj tidak punya wiper seperti mobil?” namun acap kali dia juga akan memborbardir Anda dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit Anda jawab. Misalnya saja, “Kenapa Ibu tidak shalat hari ini? Kenapa tidak puasa? Apa itu mens?” atau “dari mana datangnya adik bayi di perut Tante Nina?”

Anda bisa saja berpura-pura tak mendengar dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan si Kecil yang terasa sulit itu. Resikonya? Anak akan bertanya dan mencari jawab dari sumber-sumber lain yang mungkin justru membahayakan keselamatan lahir batinnya. Tentu Anda tidak menginginkan ini.

Buku kecil ini ditulis sebagai pengantar Anda mempersiapkan diri menjawab berbagai pertanyaan anak tentang masalah yang mungkin menurut Anda sulit dijawab, yakni seksualitas dan sistem reproduksi manusia. Tentu saja sama sekali tidak lengkap. Tidak apa. Alhamdulillah. Semoga Anda jadi tertantang untuk mencaritahu lebih banyak dan belajar lebih dalam sehingga dapat tetap menjadi narasumber utama si Kecil dalam prosesnya belajar mengenal dunia, insya Allah.

Apalagi karena pada waktunya anak pun akan bertanya tentang hal-hal yang barangkali menurut banyak orang tidak sulit karena tidak berkaitan dengan tabu masyarakat, tetapi tetap saja membutuhkan usaha untuk bisa menjawab dengan baik. Misalnya saja, apakah Anda tahu mengapa bajaj tidak punya wiper?

Salam hangat

Santi W.E. Soekanto

santi_soekanto2001@yahoo.com

Mengapa Anak Bertanya dan Mengapa Orangtua Perlu Menjawab

“Mengapa manusia menyusui?”

“Kenapa manusia harus dikhitan?”

“Kenapa perempuan menstruasi?”

“Bagaimana caranya otak berkembang?”

“Apa yang bikin tangan kita bisa bergerak?”

“Bagaimana cara mulut bekerja?”

“Bagaimana suara keluar dari mulut?”

“Bagaimana mata berkembang?”

“Apa itu mukjizat?”

“Apa itu syahwat?”

“Kenapa bebek bertubuh kecil?”

“Kenapa keluar air susu dari teti (payudara)? Di simpan di mana susunya? Kenapa kok nggak habis-habis? Berapa lama bayi disusui? Kalau memang air susu diminum terus dikeluarin lagi lewat pipis dan BAB (buang air besar), ‘kan namanya buang-buang saja. Nggak usah nyusu saja!”

“Bagaimana manusia berkembang biak?”

“Kenapa bajaj nggak ada wiper-nya kayak mobil? Kenapa bajaj nggak ada jendelanya?”

“Kenapa kita harus menutup aurat?”

“Nyawa itu apa? Sama nggak dengan ruh?”

“Aku mau tahu tentang tubuh anak laki-laki. Aku mau belajar tentang tubuh laki-laki. Aku mau lihat penis Bu...”

Semua pertanyaan di atas hanyalah sebagian dari serentetan pertanyaan yang pada suatu malam dilontarkan Nurul Azka, gadis kecil berusia 6 tahun, kepada saya, ibunya. Sejak beberapa tahun terakhir saya menyadari bahwa meski semua anak pada dasarnya selalu merasa ingin tahu, Azka menyimpan bergudang-gudang pertanyaan yang siap dilontarkannya kepada saya dengan kecepatan setinggi Kereta Peluru di Jepang. Hampir tidak ada hari terlewati tanpa dia melontarkan pertanyaan kepada orangtuanya.

Suatu hari saya “tantang” dia untuk menanyakan apa pun saja hal yang ingin diketahuinya – tanpa pembatasan apa pun. Maka terlontarlah puluhan “soal” yang kemudian saya sadari sudah cukup lama menjadi perhatiannya dan ingin dia ketahui jawabannya. Sebagian besar pertanyaan itu bisa saya jawab, sementara untuk sebagian lagi dengan jujur saya katakan tidak tahu dan saya ajak dia untuk mencaritahu di buku-buku keesokan harinya.

Selain banyak bertanya, Azka juga senang buku. Sejak sebelum bisa membaca, dia paling suka didongengi dan dibacakan buku. Suatu kali pernah secara sengaja saya “tantang” dia untuk membacakan buku apa saja yang dia mau karena saya mengira dia akan segera bosan dan memilih bermain di luar rumah saja. Ternyata, hari itu saya harus membacakan 25 buku untuknya!

Meskipun di mata saya Azka adalah anak paling istimewa di seluruh dunia, namun pada kenyataannya anak-anak lain pun tidak kurang kritis dan perseptif. Beberapa pertanyaan di bawah ini dilontarkan adalah anak-anak berusia 12 tahun ke bawah dan dikumpulkan oleh wartawan muda Tara Supono (calon_jurnalis@yahoo.com):

* “Apa itu pemerkosaan?” (Syifa, 12 tahun, tinggal di Ciledug, Jakarta Selatan)
* “ Apa itu pelet?” (Nanda, 10 tahun, Manggarai, Jakarta)
* “Kenapa orang Islam nggak boleh makan babi?” (Novi, 7 tahun, Kemang, Jakarta Selatan)
* “Kenapa manusia nggak punya sayap seperti burung?” (Adiba, 8 tahun, Tanggerang, Jawa Barat)
* “Apa artinya rahim?” (Adib, 9 tahun, Bekasi, Jawa Barat)
* “Adek bayi lahirnya dari mana?” (Gamal, 5 tahun, Bekasi, Jawa Barat)
* “Jin itu apa?” (Gamal, 5 tahun, Bekasi, Jawa Barat)
* “Kenapa perempuan payudaranya membersar? Kenapa perempuan menstruasi? Untuk apa menstruasi? Mimpi basah itu apa? Seperti apa sih?” (Mahesa, 11 tahun, Bekasi, Jawa Barat)
* “Orang itu asalnya dari mana?” (Hanna, 5 tahun, Jakarta Timur)
* “Allah itu bentuknya seperti apa?” (Vani, 5 tahun, Pondok Gede, Jakarta)

Semua itu adalah bukti betapa Allah mengaruniai setiap anak dengan dorongan alamiah untuk belajar dan mengenali dunia di sekitarnya. Allah mengaruniai pula mereka dengan alat-alat belajar tersebut berupa penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman dan pengecap. Inilah sebabnya mengapa si kecil merangkak untuk mengambil suatu benda, merabanya, menciumnya, meletakkannya di telinga, lalu menjilatnya – sebuah proses mengenal diri dan lingkungannya yang tiba-tiba saja terhenti ketika Ibu menjerit, “Ya ampun! Ini anak! Bodoh amat! Jangan! Jangan makan sepatu! Kotor!”

Semakin bertambah usianya, semakin kuat anggota tubuhnya, semakin lebar langkahnya, semakin banyak yang dilihatnya, maka semakin besarlah rasa ingin tahu seorang anak. Bila ditanggapi dengan baik, dorongan alamiah untuk tahu ini akan berkembang menjadi minat belajar dan membaca.

Orang tua mana yang tidak suka bila anaknya rajin belajar? Ada syaratnya tentu saja: guru pertama si kecil, yakni ayah dan ibunya, perlu mempersiapkan diri untuk tidak saja mendidik dan mengajar tetapi juga belajar bersama. Ini artinya orangtua bukan semata-mata meneriaki anak untuk mengerjakan pe-er matematika atau mengetes hafalan kali-kaliannya, tetapi sungguh-sungguh menemani si kecil memulai perjalanan belajarnya.

Berarti pula cukup rendah hati untuk menyadari bahwa tidak ada orangtua yang tahu semua hal, dan berani mengakui kepada si kecil kalau memang tidak tahu. Anak tidak akan kehilangan rasa hormat kalau si ayah atau si ibu mengatakan, “Saya tidak tahu. Nanti kita cari buku untuk dibaca bersama, atau tanya pada orang yang lebih tahu.” Sebaliknya, anak akan kehilangan respek dan dorongan alamiahnya untuk belajar bila orangtua menutupi ketidaktahuan mereka dengan berbohong, mencerca anak atau bahkan menyuruh si kecil tutup mulut!

Satu lagi sarana belajar seorang anak ketika dia sudah semakin besar dan mampu berkomunikasi verbal adalah dengan bertanya. Matanya melihat, telinganya mendengar, hidungnya mencium dan semua inderanya itu mengirimkan pesan ke otak untuk mengolah informasi yang diperoleh. Ketika gudang informasi di otaknya tidak memiliki penjelasan tentang suatu objek, maka dia harus bertanya. Seorang anak berusia 3 tahun sudah bisa bertanya, “Kenapa ayam itu naik ke punggung ayam yang satunya?”

Di banyak kalangan di Indonesia, orangtua sering menganggap bahwa anak “baik” adalah anak yang “manis, penurut, “banyak ‘ngomong” sehingga seringkali seorang anak yang sebenarnya cerdas dan sedang bersemangat mempelajari dunia dipaksa diam karena dianggap “cerewet.” Ada juga orangtua yang malahan mencerca anaknya dan mengatainya “bandel” hanya karena si kecil bertanya ke arah mana bus yang mereka naiki menuju!

Sebenarnya, bila Anda enggan menjawab, anak masih tetap akan bisa menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka. Tetapi, apakah ini yang sungguh-sungguh Anda inginkan? Apakah Anda tidak berkeberatan anak mendapatkan informasi tentang Allah, tentang kehidupan dan penciptaan manusia atau tentang seks, misalnya, dari pihak-pihak lain yang barangkali tidak bertanggungjawab?

Sebaliknya, kalau Anda ingin menjadi sumber informasi utama si kecil, maka Anda perlu berusaha menjadi orangtua yang mudah didekati anak dan mau menjawab berbagai pertanyaannya dengan jujur, terbuka dan apa adanya. Anda perlu berusaha menahan diri untuk tidak mentertawakan, menghakimi, mengejek atau bahkan menghukum anak hanya karena dia ingin tahu. Ada orangtua yang langsung meledak dan menuduh si kecil “ngomong jorok!” ketika dia bertanya tentang perbedaan genitalia anak laki-laki dari anak perempuan dengan menggunakan istilah yang “tidak sopan” yang sebenarnya dia pelajari dari orang-orang di sekitarnya.

Anak-anak secara instinktif bisa menandai keengganan orangtua bicara tentang hal-hal tertentu seperti kematian, adopsi, atau seks, dan ini menyebabkan mereka cenderung menutup-nutupi keingintahuan mereka. Kalau Anda sengaja tak mengacuhkan pembicaraan tentang hal-hal “tabu” seperti masturbasi, homoseksualitas atau pornografi, maka anak akan mencari informasi dari sumber lain. Komunikasi terbuka adalah salah satu piranti terbaik mengasuh anak.

Sebenarnya, orangtua tidak perlu merasa terbebani jika anak bertanya bertubi-tubi. Mereka tidak sedang mengetes Anda seperti dahulu guru atau dosen Anda menguji Anda. Si Kecil benar-benar ingin belajar. Dia juga sebenarnya tengah menawarkan kepada Anda kesempatan emas mengarungi sebuah perjalanan mengasyikkan yakni petualangan belajar bersamanya. Dengan bismillah, perjalanan ini bukan saja akan bermanfaat mencerdaskan si Kecil tetapi juga menambah pengetahuan Ayah dan Ibu dan menambahkan manfaat serta pahala amal shalih yang biasanya diperoleh seseorang yang menuntut ilmu. Insya Allah.

Kapan dan Bagaimana Sebaiknya Bicara dengan Si Kecil?

Usia 4 sampai 12 tahun adalah masa penting pembangunan aqidah dan nilai-nilai hidup seorang anak. Allah menjadikan anak-anak di usia ini sangat terbuka dan berminat menerima berbagai hal dan informasi dari orangtuanya.

Sebaiknya memang Anda membiasakan diri bicara dengan si Kecil sedini mungkin sehingga memupuk keberaniannya mengungkapkan isi hatinya, dan membangun kepercayaan diri Anda sendiri untuk menjadi narasumber utama nilai-nilai dan pengetahuan untuknya. Dengan memulai sedini mungkin Anda membangun suasana keterbukaan dan kejujuran.

Bila Anda menanti sampai anak memasuki usia remaja baru mengajaknya bicara soal, misalnya, seks dan reproduksi, maka kemungkinan besar dia sudah membentuk sistem nilainya sendiri berdasarkan informasi dari sumber-sumber lain – teman, bacaan, internet, televisi, film, gosip orang dewasa di sekitarnya.

Bagaimana cara bicara dengan si Kecil?

Coba amati dan catat, selama 5 menit saja misalnya, cara Anda bicara dengan anak? Apakah Anda selalu mulai pembicaraan dengan “jangan!” atau “Mama bilang...” atau “Pokoknya...” Apakah Anda cenderung “berkhutbah?” Apakah Anda memberinya kesempatan untuk lebih dulu mengungkapkan isi hatinya? Ataukah Anda cenderung “tabrak lari” yakni memberinya instruksi begini atau begitu, larangan begini atau begitu, dan meninggalkannya begitu saja dengan harapan dia akan melaksanakan semua perintah Anda?

Tahukah Anda bahwa cara Anda bicara sama pentingnya dengan isi pembicaraan Anda. Berikut ini beberapa prinsip penting berbicara dengan anak:

1. Mulailah selalu dengan doa agar Allah menuntun lisan Anda dan menurunkan ilham untuk memberi jawaban yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah namun yang lebih penting adalah dapat dipertanggungjawabkan secara aqidah. Anda tidak usah menjadi seorang Einstein, yang dibutuhkan anak hanyalah seorang ibu atau ayah yang mau mengakui bahwa mereka juga tidak tahu bagaimana hoovercraft (semacam pesawat amfibi) bisa berjalan di atas air dan darat, serta bersedia bersama-sama mencari informasi dari buku dan sumber lain. Tetapi yang harus Anda usahakan selalu adalah apa pun yang keluar dari lisan Anda tidak menjadikan si Kecil anak yang semakin jauh dari Allah. Misalnya, kalau si kecil bertanya, “apa sih pelet?” Anda tentu tidak akan mengatakan begini, “Oh, itu ilmu hitam untuk bikin perempuan senang sama laki-laki” bukan? Anda bisa mengatakan, “setahu Ibu itu suatu cara yang sangat dimurkai Allah untuk mempengaruhi perasaan seseorang. Ibu tidak tahu banyak. Nanti kita tanya ustadz ya?”

2. Bila tidak sempat dengan doa yang panjang, ucapkan saja bismillah dan pasrahkan lisan Anda kepada Allah.

3. Kuasai materi pembicaraan semaksimal mungkin. Anda tidak harus jadi pakar, tapi Anda perlu menunjukkan kepada si kecil bahwa Anda tahu apa yang Anda bicarakan. Jadi, sebelum bicara dengan si kecil soal seks atau alkohol, sebaiknya Anda membaca-baca lebih dulu. Yang lebih penting adalah anak tahu bahwa Anda berusaha selalu belajar.

4. Bersikaplah amanah. Bila tidak tahu, katakan dengan jujur bahwa Anda belum tahu. Jangan membesar-besarkan atau memelintir fakta demi membuat anak, misalnya, takut sehingga tidak melakukan sesuatu yang Anda tak ingin ia lakukan. Anak perlu belajar bahwa ibu dan bapak mereka memang bisa dipercaya.

5. Seperlunya saja. Tidak perlu berceramah berpanjang-panjang. Langsung saja ke inti pembicaraan. Dengan demikian, konsentrasi dan daya tampung anak menangkap isi pembicaraan Anda dapat maksimal. Jangan sampai Anda mengalami apa yang pernah saya alami sendiri. Suatu kali Azka yang saat itu baru 3 tahun bertanya, “Bu alam segal itu apa?” Maka bertele-telelah saya menjelaskan tentang lingkungan, bumi dan langit serta iklim yang diciptakan Allah. Begitu saya menarik nafas, Azka menyela, “Maksudku, itu yang dijual olang di depan?” Rupanya, dia bertanya tentang susu segar bermerek “Alam Segar” yang dijajakan orang di depan rumah!

6. Bicara dengan jelas. Gunakan bahasa dan kalimat sederhana yang disesuaikan dengan usia si kecil.

7. Hormatilah pandangan anak. Tanyakan pendapatnya. Dengarkan pembicaraannya sampai selesai. Hanya karena dia jauh lebih kecil tidak berarti Anda perlu memborbardirnya sehingga sikapnya 100 persen sama dengan Anda. Contohnya: Anda mengatakan bahwa merokok itu berbahaya dan bahwa Anda berhenti merokok sesudah merasakan semua bahayanya. Bagaimana kalau si kecil lalu mengatakan bahwa dia pun ingin mencoba dulu sebelum memutuskan untuk tidak merokok? Kalau Anda langsung marah, “’kan sudah dibilangin merokok itu bahaya? Kenapa harus mengulang pengalaman buruk Papa?” maka itu artinya Anda sedang memborbardir dan memaksakan pendapat Anda.

8. Ciptakan kehangatan komunikasi dengan si Kecil pada berbagai kesempatan. Tidak usah menjadikan kesempatan tanya jawab sebagai satu-satunya interaksi dengan si kecil sehingga terasa formal seperti di kelas. Mengobrol ringan, membacakan buku, bergurau dan main tebakan adalah sarana komunikasi terbaik dengan anak sehingga dia biasa terbuka dan tidak takut membuka diri kepada orangtuanya. Ini akan terasa pentingnya untuk mempertahankan jalur komunikasi Anda dengannya begitu si Kecil memasuki usia remaja dan banyak bersinggungan dengan banyak orang serta sumber informasi lain.

No comments: